12-12-2006
Pelanggaran hukum dalam transaksi elektronik dan perbuatan hukum di dunia maya merupakan
fenomena yang mengkhawatirkan, mengingat berbagai tindakan, seperti carding, hacking,
cracking, phising, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian (online gambling), transnasional
crime yang memanfaatkan informasi teknologi sebagai “tool” telah menjadi bagian dari aktivitas
pelaku kejahatan internet.
Oleh karena itu, Pemerintah memandang RUU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
mutlak diperlukan bagi Negara Indonesia, karena saat ini Indonesia merupakan salah satu
Negara yang telah menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi secara luas dan efisien,
namun belum memiliki undang-undang cyber.
Cakupan materi RUU ITE, antara lain : informasi dan dokumen elektronik, pengiriman dan
penerimaan surat elektronik, tanda tangan elektronik, sertifikat elektronik, penyelenggaraan
system elktronik, transaksi elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan privasi.
Hal-hal demikian, dikemukakan Dirjen Aplikasi Telematika Kominfo, Cahyana Ahmadjayadi
dalam penjelasannya kepada jabarprov.go.id, Senin (11/12) di Hotel Panghegar Bandung, disela
acara Sosialisasi RUU tentang ITE.
Menurut Cahyana, bahwa UU tentang ITE akan memberikan manfaat, yaitu : akan menjamin
kepastian hokum bagi masyarakat yang melakukan transaksi elektronik, mendorong
pertumbuhan ekonomi, mencegah terjadinya kejahatan berbasis teknologi informasi dan
melindungi masyarakat pengguna jasa dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Adapun terobosan-terobosan yang penting yang dimilikinya, imbuh Cahyana, adalah, pertama,
tanda tangan elektronik diakui memiliki kekuatan hokum yang sama dengan tandatangan
konvensional (tinta basah dan bermaterai). Kedua, alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti
lainnya yang diatur dalam KUHAP. Ketiga, Undang-Undang ITE, berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hokum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar
Indonesia yang memiliki akibat hokum di Indonesia.
Keempat, penyelesaian sengketa, juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian
sengketa alternative atau arbitrase.
Fakta menunjukan, demikian Cahyana, masyarakat umum dan perbankan khususnya telah
melakukan kegiatan transaksi yang seluruhnya menggunakan teknologi informasi sebagai alat
(tools). Berdasarkan data transaksi elektronik melalui perbankan di Indonesia (BI 2005), jumlah
transaksi mencapai 1,017 milliar (39,9 juta pemegang kartu), dengan nilai transaksi mencapai Rp
1.183,7 trilyun yang dikelola 107 penyelenggara.
Mengingat transaksi elektronik ini meningkat, maka sangat diperlukan payung hukum untuk
mengaturnya, untuk itulah UU ITE menjadi urgen dan mendesak, demikian Dirjen APL
Telematika Depkominfo, Cahyana Ahmadjayadi.
TIM RUU TRANSAKSI ELEKTRONIK TERBENTUK
(01 Januari 2006)
JAKARTA : Kejahatan itu meliputi penipuan, perjudian, pemalsuan kartu kredit, dan
pornografi melalui Internet, sementara perselisihan adalah hak milik atas tanah,
data-data kependudukan, dan hasil perhitungan suara secara elektronik seperti pada
pemilu atau pilkada yang baru lalu. Tim dari Depkominfo bertugas membantu DPR
dalam merumuskan pembahasan RUU itu sebelum disahkan menjadi UU. Tim itu
terdiri dari unsur-unsur departemen terkait, federasi teknologi informasi Indonesia
(FTII), dan para pakar dari perguruan tinggi. DPR kabarnya telah memprioritaskan
pembahasan RUU ITE mengingat ditolaknya transaksi online, yang berasal dari
Indonesia hingga saat ini karena maraknya penipuan. Sebagai contoh, baru-baru ini
Kedubes RI di London melaporkan kerugian warga Inggris yang tertipu website di
Indonesia. Website itu menawarkan barang, namun setelah dibayar melalui bank di
Indonesia, barang tidak dikirim. Saat ini jaringan Internet di Indonesia juga tengah
disusupi website perjudian www. sdsb. com. Website perjudian itu milik perusahaan
Inggris dan didaftarkan di luar negeri. Meski didaftarkan di luar negeri, namun
website tersebut menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. "Regulasi
ITE akan menjadi dasar hukum jika terjadi pelanggaran dalam perhitungan suara
pilkada secara elektronik, pemilu, dan lainnya," tutur Ahmad M. Ramli, Staff Ahli
Menkominfo kemarin. (Bisnis Indonesia)
'Percepat Pengesahan UU Cyberlaw'
01 Januari 2006)
Ketua Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) Teddy Sukardi mengatakan
komunitas telematika sangat serius mendorong penerbitan UU di bidang teknologi
informasi (cyberlaw) karena dampak kerugian yang ditimbulkan tidak hanya secara
materi tapi juga menyangkut citra Indonesia di luar negeri.
"Sebagai contoh, transaksi elektronik dari Indonesia sampai sekarang masih ditolak
di luar negeri. Sebagai pelaku usaha, penolakan ini sangat merugikan sehingga jika
RUU ITE masih tersendat akan menimbulkan kerugian yang lebih besar lagi,"
katanya kemarin.
Belum adanya cyberlaw di Indonesia membuat banyak pelaku usaha yang enggan
melakukan transaksi dan pembayaran secara elektronik karena risikonya sangat
tinggi sehingga sebetulnya negara kehilangan pendapatan hingga miliaran dolar AS
pertahun.
Oleh karena itu, kata Teddy, dalam waktu dekat ini komunitas telematika akan
membuat forum bersama dengan pemerintah khususnya Kementrian Kominfo,
Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, serta DPR untuk membahas
masalah tersebut.
Dalam forum itu, lanjut dia, akan dimanfaatkan untuk melakukan pencerahan dan
menyamakan persepsi terkait dengan potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat
belum adanya cyberlaw baik bagi pelaku usaha maupun negara.
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) juga menyatakan mendukung upaya
semua pihak untuk segera menerbitkan cyberlaw karena sudah cukup lama RUU ITE
di bahas di berbagai level baik di kalangan masyarakat maupun interdep yang
dimotori oleh Kementrian Kominfo.
Referensi
avinanta.staff.gunadarma.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar